Tentang Aturan Pendirian LAZ (PP Nomor 14 tahun 2014)



Baznas Buat Aturan Turunan PP Zakat
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fuji Pratiwi

JAKARTA – Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) membentuk tim untuk merumuskan aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 tahun 2014. PP ini merupakan aturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.

Ketua Umum Baznas Didin Hafidhuddin mengungkapkan, PP belum sepenuhnya bisa dijalankan begitu saja. Namun butuh aturan lebih rinci yang ia sebut aturan turunan.’’Kami membutuhkan sekitar 60 aturan turunan PP ini,’’ katanya, Senin (10/3).

Ia berharap dalam bulan-bulan ini, aturan tersebut telah selesai dirumuskan dan didiskusikan dengan sejumlah pihak. Termasuk dengan lembaga amil zakat (LAZ) dan Kementerian Agama. Bakal ada skala prioritas yang nantinya ditangani oleh tim Baznas ini.

Dengan demikian, hal yang lebih utama memperoleh porsi perhatian lebih besar. Menurut Didin, ada sejumlah hal yang ingin ditekankan. Di antaranya, hubungan antara Baznas pusat dan daerah, kode etik bagi para amil zakat, dan hubungan antara Baznas dan LAZ.

Terkait hubungan dengan LAZ, Didin mendorong sinergi LAZ dan Baznas dalam pengelolaan zakat di Tanah Air. Bagi dia, dua entitas ini tak terpisahkan. Ia berharap tak ada lagi polemik seperti yang pernah terjadi ketika UU Pengelolaan Zakat baru muncul.

Direktur Indonesia Magnificence of Zakat (IMZ) Nana Mintarti mengatakan, LAZ masih mempersoalkan beberapa poin peraturan yang ada.  Misalnya soal syarat pendirian LAZ dan audit syariah.

Menurut dia, audit terhadap LAZ dilakukan oleh Kementerian Agama (Kemenag). ‘’Mestinya wewenang audit syariah ini berada di tangan Majelis Ulama Indonesia (MUI),’’ katanya. Hal lainnya mengenai setiap LAZ hanya boleh memiliki satu perwakilan di satu provinsi.

Nana mengungkapkan, ada kemungkinan LAZ menempuh jalur hukum kembali terhadap PP yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 14 Februari 2014 lalu. Kalau PP, biasanya melalui Mahkamah Agung.

Beberapa waktu lalu, mereka melakukan uji materiil terhadap UU Pengelolaan Zakat di Mahkamah Konstitusi. ‘’Jadi, ada potensi teman-teman LAZ menempuh jalur yang sama. Tapi kami masih melihat dan menunggu perkembangan,’’ kata Nana.




Pemerintah Terbitkan Aturan Pelaksanaan UU Pengelolaan Zakat
Hidayatullah.com–Sesuai amanat Pasal 13, Pasal 14 ayat (2), Pasal 16 ayat (2), Pasal 20, Pasal 24, Pasal 29 ayat (6), Pasal 33 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 14 Frebruari 2014 lalu telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2014 tentang pelaksanaan undang-undang tersebut.
PP ini mengatur tentang kedudukan, tugas dan fungsi Badan Amil Zakat Nasional (Baznas); keanggotaan Baznas; organisasi dan tata kerja Baznas; organisasi dan tata kerja sekretariat Baznas; lingkup dan wewenang pengumpulan zakat, serta persyaratan dan mekanisme perizinan dan pembentukan perwakilan Lembaga Amil Zakat (LAZ); termasuk pembiayaan Baznas dan penggunaan hak amil.
Pasal 2 PP ini menyebutkan, Baznas merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Agama. Baznas yang berkedudukan di Ibu Kota negara ini, merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas Pengelolaan Zakat secara nasional.
Dalam melaksanakan tugasnya, Baznas menyelenggarakan fungsi: a. Perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; b. Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; c. Pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan d. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan Pengelolaan Zakat.
Keanggotaan
Baznas terdiri atas 11 (sebelas) orang anggota yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri Agama. Anggota Baznas terdiri atas 8 (delapan) orang berasal dari unsur masyarakat yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Agama setelah mendapat pertimbangan DPR, dan 3 (tiga) orang dari unsur pemerintah.
“Masa kerja anggota Baznas selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan,” bunyi Pasal 6 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2013 sebagaimana dikutip Setkab, Sabtu (08/03/2014).
Syarat untuk menjadi anggota Baznas di antaranya: a. Beragama Islam; b. Berusia paling sedikit 40 (empat puluh) tahun; c. Tidak menjadi anggota partai politik; d. Memiliki kompetensi di bidang Pengelola Zakat; dan e. Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
Mengenai anggota Baznas dari unsur masyarakat, menurut PP ini, terdiri atas unsur ulama, tenaga profesional, dan tokoh masyarakat Islam. Sedangkan unsur pemerintah terdiri atas unsur Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Keuangan.
Menurut PP ini, untuk melaksanakan tugas dan fungsi Baznas dapat dibentuk unit pelaksana yang melaksanakan fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pelaporan, dan pertanggungjawaban dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat secara nasional.
“Pegawai unit pelaksana sebagaimana dimaksud bukan merupakan pegawai negeri,” demikian bunyi Pasal 31 Ayat (3) PP No. 14/2014, sementara di ayat berikut ditambahkan bahwa ketentuan mengenai unit pelaksana akan diatur dengan Peraturan Menteri Agama.
PP ini juga menjelaskan, Baznas Provinsi dapat dibentuk oleh Menteri Agama atas usul Gubernur setelah mendapat pertimbangan Baznas. Di tingkat provinsi ini, Baznas hanya terdiri atas unsur pimpinan yang terdiri atas ketua dan paling banyak 4 (empat) wakil ketua, dan unsur pelaksana.
Pimpinan Baznas Provinsi berasal dari unsur masyarakat yang meliputi ulama, tenaga profesional, dan tugas masyarakat. Sementara unsur pelaksana bukan berasal dari pegawai negeri sipil, kecuali jika diperlukan dapat ditempatkan pegawai negeri sipil berbantuan.
“Persyaratan untuk menjadi anggota Baznas berlaku sebagai persyaratan untuk pengangkatan pimpinan Baznas Provinsi,” bunyi Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 ini.
Adapun Baznas kabupaten/kota dibentuk oleh Dirjen yang mempunya tugas dan fungsi di bidang zakat pada Kementerian Agama atas usul bupati/walikota setelah mendapat pertimbangan Baznas.
Menurut PP ini, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Baznas, Baznas Provinsi, dan Baznas kabupaten/kota dapat membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ), yang hasilnya wajib disetorkan ke Baznas, Baznas Provinsi, atau Baznas Kabupaten/Kota.*





















PP No 14/2014 dan Lembaga Zakat
Dr Irfan Syauqi Beik**

Akhirnya pada tanggal 14 Februari 2014 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat. Kehadiran PP ini sesungguhnya telah sangat ditunggu-tunggu oleh kalangan praktisi zakat nasional, terutama pasca keputusan Mahkamah Konstitusi terkait judicial review beberapa waktu lalu. PP ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum yang lebih kuat dalam praktik pengelolaan zakat nasional, sehingga UU yang ada dapat berjalan secara operasional.

Dalam PP No 14/2014 ini, sejumlah hal krusial telah diatur dengan sangat detil. Tidak kurang dari 11 bab dan 86 pasal yang terdapat dalam PP ini. Diantara isu krusial yang telah diatur oleh PP ini antara lain adalah kelembagaan BAZNAS dan kelembagaan LAZ, yang menjadi sentral perdebatan selama ini. Dibandingkan dengan aturan yang ada sebelumnya, PP ini relatif memberikan arsitektur pengelolaan zakat yang berbeda. Sejumlah hal baru diperkenalkan di dalam aturan ini, sehingga posisi zakat secara politik dan hukum positif menjadi lebih kuat. Sebagai contoh, BAZNAS diberikan kewenangan untuk membuat kebijakan BAZNAS, yang bersifat mengikat para praktisi dan lembaga zakat resmi yang ada.

Dua isu krusial

Isu krusial pertama, kelembagaan BAZNAS. Dalam PP ini, ada tiga aspek kunci yang menjadi faktor pembeda dengan rezim pengelolaan zakat sebelumnya. Ketiga faktor kunci tersebut adalah terkait dengan keanggotaan BAZNAS, struktur dan tata organisasi BAZNAS, dan kelembagaan BAZNAS daerah.

Terkait dengan keanggotaan BAZNAS, PP telah memerinci prosedur pemilihan para anggota BAZNAS, mulai dari proses seleksi calon anggota BAZNAS yang berasal dari unsur masyarakat (8 orang) dan unsur pejabat pemerintah (3 orang), alur proses penetapan para anggota tersebut, pemilihan ketua dan wakil ketua BAZNAS, hingga proses pemberhentian dan penggantian anggota BAZNAS yang tidak bisa menjalankan kewajibannya. Khusus wakil pemerintah, PP telah menetapkan bahwa pejabat eselon satu yang menjadi ex officio anggota BAZNAS berasal dari Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan.

Menurut analisis penulis, pemilihan pejabat ketiga kementerian tersebut didasarkan pada sejumlah argumentasi. Pertama, untuk Kementerian Agama, hal ini sangat wajar mengingat urusan zakat secara hukum positif masih erat terkait dengan wilayah keagamaan yang menjadi wewenang Kemenag. Kedua, dipilihnya pejabat Kemendagri adalah dengan harapan akan meningkatkan efektivitas pengelolaan zakat di daerah, dimana pemerintah daerah juga memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis. Tanpa adanya koordinasi dan komunikasi yang efektif dengan Pemda, maka pembangunan zakat akan mengalami hambatan yang berarti. Ketiga, dipilihnya pejabat Kemenkeu diharapkan dapat memudahkan upaya penganggaran BAZNAS serta upaya sinergi dan integrasi dengan kebijakan fiskal. Sinergi zakat dengan pajak ini merupakan bagian dari aspirasi perjuangan para pegiat ekonomi syariah selama ini.

Faktor kunci kedua adalah struktur organisasi BAZNAS. Di dalam PP disebutkan bahwa perangkat organisasi BAZNAS terdiri atas dua komponen utama, yaitu sekretariat dan unit pelaksana, yang bertanggung jawab pada anggota BAZNAS. Sekretariat ini akan diatur melalui Peraturan Menteri Agama secara khusus, baik struktur maupun personilnya, dengan pertimbangan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan personil sekretariat ini adalah PNS. Sedangkan unit pelaksana merupakan komponen yang melaksanakan fungsi organisasi BAZNAS di luar kesekretariatan, dan mereka bukan merupakan PNS. Sehingga, dari perspektif BAZNAS, roda organisasi akan dapat terus berjalan tanpa harus menunggu rekrutmen PNS. Tentu ini sangat memudahkan pelaksanaan tugas BAZNAS.

Adapun faktor kunci ketiga adalah BAZNAS daerah. Secara kelembagaan, ada perubahan yang cukup signifikan, terutama dari sisi kepengurusan. Pada peraturan yang lama, kepengurusan BAZNAS daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota terdiri atas Badan Pelaksana, Dewan Pertimbangan dan Komisi Pengawas. Maka pada PP ini, hal tersebut diubah, sehingga kepengurusan BAZNAS daerah terdiri atas pimpinan dan pelaksana. Pimpinan terdiri atas satu orang ketua dan wakil ketua paling banyak empat orang. Adapun pelaksana, memiliki fungsi sebagai pelaksana operasional pimpinan BAZNAS daerah. Tentu diperlukan kesiapan mental dari para pengurus BAZNAS daerah yang ada selama ini, karena adanya perampingan kepengurusan secara signifikan. Jangan sampai hal tersebut menimbulkan konflik yang tidak perlu.

Selanjutnya, isu krusial kedua adalah kelembagaan LAZ. PP No 14/2014 ini telah mengadopsi hasil keputusan Mahkamah Konstitusi, dimana syarat pendirian LAZ adalah terdaftar sebagai ormas Islam atau berbadan hukum. PP tersebut juga mengatur bahwa izin bagi LAZ tingkat nasional dikeluarkan oleh Menteri Agama, izin bagi LAZ tingkat provinsi dikeluarkan oleh direktorat jenderal yang terkait dengan fungsi zakat di Kementerian Agama, yang selama ini telah dijalankan oleh Ditjen Bimas Islam, dan izin bagi LAZ kabupaten/kota dikeluarkan oleh kepala kantor wilayah Kementerian Agama provinsi. Keseluruhan proses perizinan ini memakan waktu 15 hari kerja.

LAZ tingkat nasional pun diperkenankan untuk membuka satu kantor perwakilan di setiap provinsi, dan LAZ tingkat provinsi diperkenankan untuk membuka satu kantor perwakilan di setiap kabupaten/kota. Pembukaan perwakilan tersebut harus dengan izin kepala kantor wilayah Kementerian Agama provinsi untuk LAZ nasional, dan kepala kantor Kementerian Agama kabupaten/kota untuk LAZ provinsi. Sama seperti izin pendirian LAZ, izin pembukaan kantor perwakilan ini juga memakan waktu 15 hari kerja. Sedangkan bagi amil perseorangan, PP telah menetapkan bahwa keberadaan mereka tetap diperbolehkan selama pihak BAZNAS dan LAZ belum bisa menjangkau mereka. Kegiatan amil perseorangan ini cukup diberitahukan secara tertulis kepada kepala kantor Kementerian Agama kecamatan.

Ke depan, PP ini membutuhkan proses sosialisasi yang lebih masif, serta tindak lanjut yang lebih terencana dan terarah. Penulis berharap PP ini bisa menjadi angin segar bagi kemajuan pengelolaan zakat nasional di masa mendatang. Wallahu a'lam.

***Telah dimuat di Republika edisi 27 Februari 2014
**Penulis adalah Ketua Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB








Pemerintah Batasi Pengelolaan Zakat Oleh Perseorangan dan Pengurus Masjid

Bisnis.com, JAKARTA -- Peraturan pemerintah soal zakat melarang perseorang menjadi pengumpul zakat, jika di daerah tersebut ada lembaga pengelola zakat yang terdaftar.
Pasal 66 PP no. 20/2014 menyatakan kegiatan pengelolaan zakat hanya dapat dilakukan oleh perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam, atau pengurus masjid di daerah yang belum terjangkau oleh BAZNAS dan Lembaga Amil Zakat.
Pemerintah membatasi pengelolaan zakat secara perseorangan di area yang secara geografis tidak terlayani oleh lembaga pengelola zakat terdaftar.
Pembatasan itu ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 20/2014 yang berisi tentang persyaratan pembentukan, wewenang, dan tanggung jawab pengelolaan zakat di Indonesia yang diakses dari situs Sekretariat Kabinet pada Rabu (12/3/2014).
Suatu daerah dinyatakan tidak terjangkau jika berada di wilayah yang secara geografis jauh dari BAZNAS dan LAZ atau tidak memiliki infrastruktur untuk membayarkan zakat kepada BAZNAS atau LAZ.
Kegiatan pengelolaan zakat oleh perseorangan tersebut kemudian harus dilaporkan secara tertulis kepada kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan.
Selain pembatasan bagi pengelolaan zakat perseorangan, PP No. 20/2014 juga melarang LAZ tingkat nasional untuk membuka lebih dari 1 perwakilan di tingkat provinsi.
Aturan serupa juga berlaku bagi pembukaan perwakilan LAZ tingkat provinsi di tingkat Kabupaten/Kota.
Pembukaan perwakilan tersebut harus mendapatkan izin dari kantor agama tingkat provinsi atau kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi BAZNAS setempat dengan melampirkan daftar pemberi dan pengumpul zakat.


Post a Comment

Previous Post Next Post