Wakaf sebagai Kegiatan Investasi

Oleh : Muhammad Arifin


Praktik wakaf di Indonesia, setidaknya pada masa-masa terdahulu, terkesan sulit dan berat sekali. Hanya orang kaya atau orang yang punya tanah luas yang bisa melakukan wakaf. Sementara orang-orang yang berpenghasilan rendah seolah tidak punya peluang untuk berwakaf. Untunglah belakangan di Tanah Air sudah mulai dikembangkan wakaf tunai (cash waqf), sehingga siapa saja -- tak peduli berpenghasilan rendah atau tinggi -- berpeluang memperoleh pahala abadi dari wakaf itu.

Meskipun masih tergolong baru di Indonesia, praktik wakaf tunai sebenarnya telah berjalan di beberapa negara Muslim seperti Mesir, dan Tunis. Salah satu faktor keunggulan Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, yang telah berusia lebih dari 1.000 tahun itu terletak pada wakafnya yang teramat besar. Bukan hanya wakaf tanah, gedung dan lahan pertanian, tetapi juga wakaf tunai. Dengan wakaf yang amat besar itu, Al-Azhar mampu membiayai operasional pendidikannya selama berabad-abad tanpa bergantung pada pemerintah meupun pembayaran siswa dan mahasiswanya. Al-Azhar bahkan mampu memberikan beasiswa kepada ribuan mahasiswa dari seluruh penjuru dunia selama berabad-abad.

Dalam sejarah Islam, wakaf pertama kali dilakukan oleh Rasulullah SAW berupa tujuh kebun yang sebelumnya milik seorang Yahudi bernama Mukhairiq yang tewas pada perang Uhud. Mukhiriq pernah berkata, jika dirinya terbunuh dalam perang itu maka tanah miliknya akan menjadi milik Nabi Muhammad SAW. Mukhairiq tewas dan tanah itu pun menjadi milik Rasulullah yang kemudian diwakafkannya untuk kepentingan umat Islam. Mengomentari hal itu, Rasulullah berkata, "Mukhairiq adalah sebaik-baik orang Yahudi."

Dalam perkembangan sejarah berikutnya, praktik pemanfaatan wakaf telah berkembang cukup maju, baik dari segi kuantitas maupun pemanfaatannya. Dari segi kuantitas, di Mesir, misalnya, jumlah lahan pertanian hasil wakaf masyarakat sampai dengan awal abad ke-19 mencapai sekitar sepertiga dari total jumlah lahan pertanian yang ada. (Lihat: Abu Zahra, Kuliah tentang Wakaf, hlm 24-26). Itu belum termasuk wakaf tanah yang dimanfaatkan untuk pembangunan gedung sekolah, mesjid, rumah sakit, dan panti anak yatim.

Kota Kairo bahkan dikenal dengan sebutan kota 'seribu menara' atau 'seribu mesjid', antara lain memang karena banyaknya mesjid yang dibangun dari hasil wakaf masyarakat. Demikian pula di Turki. Pada perempat pertama abad ke-20, jumlah tanah wakaf dalam bentuk lahan pertanian mencapai kurang lebih sepertiga dari total lahan pertanian yang ada. (Lihat: Tharwat Armagan, Lamhah 'an al-awqaf fi Turkiya, hlm 339).

Sedangkan dari segi pemanfaatannya, tanah wakaf mempunyai andil yang sangat besar dalam memajukan sektor pendidikan, kesehatan dan kebutuhan sosial lainnya. Sebagai contoh, jumlah sekolah dasar di Sisilia -- ketika masih berada di bawah kekuasaan Islam -- mencapai sekitar 300 sekolah yang seluruhnya dibiayai dari harta wakaf. Belum lagi pemanfaatan wakaf tanah, gedung, buku-buku dan sebagainya untuk perpustakaan sebagai sarana penunjang pembangunan sektor pendidikan. Ulama-ulama Muslim klasik bahkan banyak sekali yang keluaran sekolah-sekolah yang dibiayai oleh harta wakaf.

Dalam bahasa Arab, wakaf (waqf) berarti 'berhenti' atau 'menahan'. Tempat pemberhentian bus atau terminal dalam bahasa Arab disebut mawaqif. Sedangkan dalam istilah syariah, wakaf diartikan -- meminjam definisi Muhammad Syafi'i Antonio -- sebagai aset yang dialokasikan untuk kepentingan umat di mana substansi atau pokoknya ditahan (tidak dikonsumsi), sementara manfaatnya boleh dinikmati untuk kepentingan umum.

Aset yang dimaksudkan di sini mencakup berbagai jenis harta yang dapat menjadi objek wakaf seperti tanah, gedung, kebun, tanaman, maupun uang tunai. Dengan pengertian lain, wakaf dapat dikatakan sebagai pengalihan manfaat aset kekayaan atau harta dari hanya sebagai bahan konsumsi menjadi bahan produksi. Hasil produksi itulah yang kemudian dimanfaatkan untuk kebutuhan-kebutuhan konsumtif umat.

Dengan demikian, wakaf dalam syariah Islam sebenarnya mirip dengan sebuah economic corporation di mana terdapat modal untuk dikembangkan yang keuntungannya digunakan bagi kepentingan umat. Yang lebih menjamin keabadian wakaf itu adalah adanya ketentuan tidak boleh menjual atau mengubah aset itu menjadi barang konsumtif, tetapi tetap terus menjadikannya sebagai aset produktif. Dengan kata lain, paling tidak secara teoritis, wakaf harus selalu berkembang dan bahkan bertambah menjadi wakaf-wakaf baru.

Maka tak heran kalau pemerintah Arab Saudi, misalnya, belakangan mulai menerapkan pengelolaan harta wakaf melalui sistem perusahaan atau corporation. Setelah berhasil dengan investasi harta wakaf dalam bentuk saham pada sebuah perusahaan pemborong dan bangunan yang menghasilkan keuntungan jauh berlipat ganda, Kementerian Wakaf Arab Saudi berencana akan mengembangkan pengelolaan wakaf dengan sistem perusahaan secara lebih luas.

Investasi harta melalui wakaf dalam tatanan Islam sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat unik yang berbeda dengan investasi di sektor pemerintah (public sector) maupun sektor swasta (private sector). Begitu uniknya, sektor wakaf ini bahkan kadang-kadang disebut sebagai 'sektor ketiga' (third sector) yang berbeda dengan sektor pemeritah dan sektor swasta.

Keunikan itu, tampak bahwa pengembangan harta melalui wakaf tidak didasarkan pada target pencapaian keuntungan bagi pemodal -- baik pemerintah maupun swasta -- tetapi lebih didasarkan pada unsur kebajikan (birr), kebaikan (ihsan) dan kerja sama. Oleh karenanya, agama menjanjikan pahala yang abadi bagi pewakaf (waqif) selama aset yang diwakafkannya masih bermanfaat bagi kepentingan orang banyak.

Selain itu, secara teoritis, aset yang diwakafkan semestinya harus terus terpelihara dan berkembang. Hal itu terlihat dari adanya larangan untuk mengurangi aset yang telah diwakafkan (al-mal al-mawqif), atau membiarkannya tanpa diolah atau dimanfaatkan, apalagi untuk menjualnya. Artinya, harus ada upaya pemeliharaan, paling tidak terhadap pokok atau substansi wakaf dan terhadap daya produksinya, dan pengembangan yang terus menerus.

Berkaitan dengan hal ini, menarik sekali kasus investasi wakaf mesjid yang dikembangkan di beberapa kota di Timur Tengah seperti Mekkah, Kairo dan Damaskus. Kemajuan di bidang teknologi bangunan yang memungkinkan perluasan gedung secara vertikal semakin menambah 'nilai tukar' tanah wakaf. Akhirnya muncul pemikiran untuk meninjau ulang sejumlah wakaf tetap seperti mesjid yang pada waktu diwakafkan hanya terdiri dari satu lantai.

Mesjid-mesjid seperti itu banyak yang dibongkar dan dibangun kembali menjadi beberapa lantai di atas tanah yang sama. Lantai satu digunakan untuk mesjid, lantai dua digunakan untuk ruang bimbingan belajar bagi anak-anak sekolah, lantai tiga untuk balai pengobatan, lantai empat untuk ruang pertemuan serba guna, dan begitu seterusnya.

Semua itu, diolah dengan sistem profit yang menjamin pengembangan investasi wakaf. Dari situ terlihat jelas bahwa dari luas tanah wakaf yang sama dapat diperoleh pemasukan yang bermacam-macam -- dalam contoh di atas adalah pemasukan dari balai pengobatan, penyewaan ruang pertemuan, dan sebagainya.

sumber: http://www.pkpu.or.id/article/wakaf-sebagai-kegiatan-investasi

Post a Comment

Previous Post Next Post