Dari aspek materiil/substansial dan aspek formal/prosedural, PP tentang Pengelolaan Zakat
tidak mengandung cacat hukum yang dapat menjadi pertimbangan untuk
dilakukan perbaikan yang seharusnya atau diuji materi ke Mahkamah Agung.
Namun demikian, catatan yang disampaikan oleh para praktisi zakat dan
pengamat atas PP ini patut diapresiasi dan dicermati.
Catatan pertama, benarkah
terdapat inkonsistensi antara pasal 57 dan pasal 58 dalam PP tentang
zakat ini. Apakah PP bertentangan dengan putusan MK dan UU No 17 Tahun
2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan?
Sekilas membaca kalimat yang
dimaksud dalam PP, memang ditemukan inkonsistensi dan ketidaksinkronan.
Pasal 57 menyebutkan, syarat pembentukan LAZ wajib memenuhi persyaratan
terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang
pendidikan, dakwah dan sosial, atau lembaga berbadan hukum, dan
seterusnya. Namun pasal 58 dan pasal 59 yang mengatur mekanisme
perizinan, hanya menyebut “organisasi kemasyarakatan Islam”, tanpa
tambahan kalimat “atau lembaga berbadan hukum.”
Pasal dimaksud “tidak keluar”
atau bertentangan dengan putusan MK ataupun Undang-Undang Organisasi
Kemasyarakatan. Pasal 10 UU Ormas menyatakan organisasi kemasyarakatan
dapat berbentuk, (a). badan hukum, atau (b) tidak berbadan hukum. Pada
pasal 11 disebutkan organisasi kemasyarakatan berbadan hukum dapat
berbentuk perkumpulan atau yayasan.
Sejalan dengan pengertian di
atas, dari sisi UU Ormas, mekanisme pengajuan izin pembentukan LAZ untuk
organisasi kemasyarakatan Islam sudah termasuk atau “included”
organisasi berbadan hukum perkumpulan atau yayayan. Pasal 58 dan 59 yang
tidak menyebut lembaga berbadan hukum, saya kira bukan kesengajaan
untuk membatasi atau menghilangkan hak dalam membentuk LAZ. Organisasi
kemasyarakatan berbadan hukum berbentuk perkumpulan dan yayasan tinggal
menyesuaikan seperlunya dengan ketentuan dalam pasal 57.
Tetapi jika hal itu tetap
dianggap sebagai “inkonsistensi”, saya kira suatu kealpaan semata.
Jangankan dalam pembentukan PP, kealpaan pernah terjadi pada waktu
disahkannya Perubahan Kedua UUD 1945 tahun 2000 sehingga banyak kritik
dilontarkan oleh para pakar dan baru dapat diatasi dalam Perubahan
Keempat UUD 1945 tahun 2003. Hal ini sebagai perbandingan agar kita
memandang persoalan PP tidak dari segi yang rumit semata, sehingga
tidak dijalankan.
Catatan kedua, PP No 14
Tahun 2014 mengatur soal pem- bentukan perwakilan LAZ tingkat
nasional, yaitu hanya satu perwakilan di tiap provinsi, dan LAZ tingkat
provinsi hanya satu perwakilan di tiap kabupaten/kota. Bertentangankah
pasal ini dengan putusan uji materi MK terhadap UU Pengelolaan Zakat?
Putusan MK hanya merevisi
frasa dari ayat (2) pasal 18 UU No 23 Tahun 2011 mengenai persyaratan
pendirian LAZ dan mengecualikan larangan dan sanksi pidana terhadap amil
zakat perkumpulan orang dan perorangan di luar LAZ (pasal 37 dan 38).
Amar putusan MK tidak bisa ditafsirkan dan diperluas di luar teks yang
tertulis. Kita tidak bisa mengatakan suatu produk hukum bertentangan
dengan “semangat putusan MK”, sepanjang tidak ada amar putusan MK yang
dilanggarnya atau dikesampingkan. Ketentuan mengenai persyaratan
pembentukan perwakilan LAZ provinsi di tiap kabupaten/kota melalui izin
Kementerian Agama, sebenarnya membuka peluang LAZ akan lebih banyak
jumlahnya dibanding BAZNAS.
Catatan ketiga, audit syariat
(baca: audit syariah) kenapa Kementerian Agama yang melakukannya?
Seandainya audit syariat terhadap BAZNAS, BAZNAS provinsi, BAZNAS kabu-
paten/kota dan LAZ tidak oleh lembaga pemerintah, tapi oleh lembaga
berbentuk ormas, masih akan menjadi perdebatan tentang kedudukan
hukumnya.
Kewenangan audit syariat
terhadap pengelolaan zakat pada BAZNAS dan LAZ yang dilakukan oleh
lembaga pemerintah memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat. Dalam kaitan
ini, sudah tepat dilakukan oleh kementerian/lembaga yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama, yaitu Kementerian
Agama. Kementerian Agama meski belum punya auditor syariah, namun bisa
menganggarkan pendanaan dari APBN untuk menugaskan auditor independen
dalam rangka pelaksanaan fungsi fasilitasi dan pengawasan Pemerintah
sesuai Undang-Undang Pengelolaan Zakat.
Kewenangan Kementerian Agama
untuk melakukan audit syariat sejalan dengan tugas dan fungsi
kementerian dalam mengelola urusan pemerintahan menyangkut “urusan
agama” berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara. Dalam pasal 8 ayat (2) UU Kementerian Negara
disebutkan bahwa Kementerian yang melaksanakan urusan sebagaimana
dimaksud menyelenggarakan fungsi, antara lain “pengawasan atas
pelaksanaan tugas di bidangnya.” Kita tahu bahwa pengelolaan zakat
adalah termasuk urusan agama yang dibina oleh Kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. Sesuai prinsip
pendelegasian kewenangan dalam hukum administrasi negara, bahwa pejabat
atau lembaga yang diberi delegasi kewenangan tidak boleh mendelegasikan
lagi kewenangannya kepada lembaga lain.
Selain itu dasar pertimbangan
kenapa audit syariat harus dilakukan oleh Kementerian Agama. Kenapa
bukan oleh BPK atau Kementerian Keuangan yang dianggap lebih
berkompeten? Dari segi asas legalitas, zakat masih dianggap sebagai
dana sosial keagamaan yang dikelola dengan pengaturan undang-undang.
Sistem keuangan zakat di negara kita hingga hari ini tidak
diintegrasikan ke dalam kebijakan fiskal sehingga garis koordinasinya
tetap dengan Kementerian Agama.
Semoga catatan singkat ini
dapat menjawab isu krusial yang dilontarkan oleh beberapa kalangan
menyusul terbitnya PP tentang Pengelolaan Zakat.
Wallahu a’lam bisshawab.
Oleh
M. Fuad Nasar
Wakil Sekretaris BAZNAS
إرسال تعليق