Mengurai Isu Krusial PP Pengelolaan Zakat


http://pusat.baznas.go.id/wp-content/uploads/2014/03/pp-14.jpgPeraturan Pemerintah yang merupakan pelaksana langsung ketentuan  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 telah diundangkan. Ketentuan undang-undang pengelolaan zakat sebagai “primary legislation” membutuhkan peraturan pelaksananya sebagai “subordinate legislation” atau disebut juga dengan istilah “secondary legislation”. Menurut ketentuan UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, “Peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di  dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.”


Dari aspek materiil/substansial dan aspek formal/prosedural, PP tentang Pengelolaan Zakat tidak mengandung cacat hukum yang dapat menjadi pertimbangan untuk dilakukan perbaikan yang seharusnya atau diuji materi ke Mahkamah Agung. Namun demikian, catatan yang disampaikan oleh para praktisi zakat dan pengamat atas PP ini  patut diapresiasi dan dicermati.
Catatan pertama, benarkah terdapat inkonsistensi antara pasal 57 dan pasal 58 dalam PP tentang zakat ini. Apakah PP bertentangan dengan putusan MK dan UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan?

Sekilas membaca kalimat yang dimaksud dalam PP, memang ditemukan inkonsistensi dan ketidaksinkronan. Pasal 57 menyebutkan, syarat pembentukan LAZ wajib memenuhi persyaratan terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah dan sosial, atau lembaga berbadan hukum, dan seterusnya. Namun pasal 58 dan pasal 59 yang mengatur mekanisme perizinan, hanya menyebut “organisasi kemasyarakatan Islam”, tanpa tambahan kalimat “atau lembaga berbadan hukum.”

Pasal dimaksud “tidak keluar” atau bertentangan dengan putusan MK ataupun Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan. Pasal 10 UU Ormas menyatakan organisasi kemasyarakatan  dapat berbentuk, (a). badan hukum, atau (b) tidak berbadan hukum. Pada pasal 11 disebutkan organisasi kemasyarakatan berbadan hukum dapat berbentuk perkumpulan atau yayasan.
Sejalan dengan pengertian di atas, dari sisi UU Ormas, mekanisme pengajuan izin pembentukan LAZ untuk organisasi kemasyarakatan Islam sudah termasuk atau “included” organisasi berbadan hukum perkumpulan atau yayayan. Pasal 58 dan 59 yang tidak menyebut lembaga berbadan hukum, saya kira bukan kesengajaan untuk membatasi atau menghilangkan hak dalam membentuk LAZ. Organisasi kemasyarakatan berbadan hukum berbentuk perkumpulan dan yayasan tinggal menyesuaikan seperlunya dengan ketentuan dalam pasal 57.

Tetapi jika hal itu tetap dianggap sebagai “inkonsistensi”, saya kira suatu kealpaan semata. Jangankan dalam pembentukan PP, kealpaan pernah terjadi pada waktu disahkannya Perubahan Kedua UUD 1945  tahun 2000  sehingga banyak kritik dilontarkan oleh para pakar dan baru dapat diatasi dalam Perubahan Keempat UUD 1945  tahun 2003. Hal  ini  sebagai perbandingan agar kita memandang persoalan PP tidak dari segi  yang rumit semata, sehingga tidak dijalankan.
Catatan kedua, PP  No  14  Tahun 2014  mengatur soal pem- bentukan perwakilan LAZ tingkat nasional, yaitu hanya satu perwakilan di  tiap provinsi, dan LAZ tingkat provinsi hanya satu perwakilan di tiap kabupaten/kota. Bertentangankah pasal ini  dengan putusan uji  materi MK terhadap UU Pengelolaan Zakat?

Putusan MK hanya merevisi frasa dari ayat (2) pasal 18 UU No 23 Tahun 2011  mengenai persyaratan pendirian LAZ dan mengecualikan larangan dan sanksi pidana terhadap amil zakat perkumpulan orang dan perorangan di luar LAZ (pasal 37 dan 38).  Amar putusan  MK tidak bisa ditafsirkan dan diperluas di luar teks yang tertulis. Kita tidak bisa mengatakan suatu produk hukum bertentangan dengan “semangat putusan MK”, sepanjang tidak ada amar putusan MK yang dilanggarnya atau dikesampingkan. Ketentuan mengenai persyaratan pembentukan perwakilan LAZ provinsi di tiap kabupaten/kota melalui izin Kementerian Agama, sebenarnya membuka peluang LAZ akan lebih banyak jumlahnya dibanding BAZNAS.

Catatan ketiga, audit syariat (baca: audit syariah) kenapa Kementerian  Agama yang melakukannya? Seandainya audit syariat terhadap BAZNAS, BAZNAS provinsi, BAZNAS kabu- paten/kota dan LAZ tidak oleh lembaga pemerintah, tapi oleh lembaga berbentuk ormas, masih akan menjadi perdebatan tentang kedudukan hukumnya.

Kewenangan audit syariat terhadap pengelolaan zakat pada BAZNAS dan LAZ yang dilakukan oleh lembaga pemerintah memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat. Dalam kaitan ini, sudah tepat dilakukan oleh kementerian/lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama, yaitu Kementerian Agama. Kementerian Agama meski belum punya auditor syariah, namun bisa menganggarkan pendanaan dari APBN untuk menugaskan auditor independen dalam rangka pelaksanaan fungsi fasilitasi dan pengawasan Pemerintah sesuai Undang-Undang Pengelolaan Zakat.
Kewenangan Kementerian Agama untuk melakukan audit syariat sejalan dengan tugas dan fungsi kementerian dalam mengelola urusan pemerintahan menyangkut “urusan agama” berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008  tentang Kementerian Negara. Dalam pasal 8 ayat (2) UU Kementerian Negara disebutkan bahwa Kementerian  yang melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud menyelenggarakan fungsi, antara lain “pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya.” Kita  tahu bahwa pengelolaan zakat adalah termasuk urusan agama yang dibina oleh Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. Sesuai prinsip pendelegasian kewenangan dalam hukum administrasi negara, bahwa pejabat atau lembaga yang diberi delegasi kewenangan tidak boleh mendelegasikan lagi kewenangannya kepada lembaga lain.
Selain itu dasar pertimbangan kenapa audit syariat harus dilakukan oleh Kementerian Agama. Kenapa bukan oleh BPK atau Kementerian Keuangan yang dianggap lebih berkompeten? Dari segi  asas legalitas, zakat masih dianggap sebagai dana sosial keagamaan yang dikelola dengan pengaturan undang-undang. Sistem keuangan zakat di negara kita hingga hari ini tidak diintegrasikan ke dalam kebijakan fiskal sehingga garis koordinasinya tetap dengan Kementerian Agama.

Semoga catatan singkat ini dapat menjawab isu krusial yang dilontarkan oleh beberapa kalangan menyusul terbitnya PP tentang Pengelolaan Zakat.

Wallahu a’lam bisshawab.

Oleh

M. Fuad  Nasar
Wakil Sekretaris BAZNAS

Post a Comment

أحدث أقدم