Perlunya Perusahaan Berzakat


Salah satu potensi zakat yang besar di negara kita, namun sampai sekarang belum tersosialisasi secara luas dan merata serta belum terhimpun hasilnya secara maksimal adalah zakat perusahaan. Sebagai contoh, potensi zakat dari sektor industri di negara kita sesuai hasil penelitian Muhammad Firdaus, Irfan Syauqi Beik, Tonny Irawan dan Bambang Juanda (IRTI IDB, 2012) mencapai Rp 22 triliun per tahun. Belum dari sektor perdagangan, jasa dan sektor usaha lainnya yang terus berkembang.

Perlunya perusahaan berzakat dilandasi dalil (nash) yang bersifat umum dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 267 dan At Taubah ayat 103 yang mewajibkan semua harta yang dimiliki untuk dikeluarkan zakatnya. Zakat perusahaan juga didalilkan kepada hadits riwayat Bukhari sebagai berikut, “Janganlah disatukan (dikumpulkan) harta yang terpisah dan janganlah dipisahkan harta yang menyatu, untuk menghindari mengeluarkan zakat.” dan “Dan harta yang disatukan dari dua orang yang berkongsi, maka dikembalikan kepada keduanya secara sama.”

Hadits ini menjadi dalil adanya kewajiban zakat pada berbagai syirkah dan perkongsian serta kerjasama usaha umat Islam dalam berbagai bidang dan jenis usaha yang halal. Kedudukan perusahaan sebagai badan hukum (recht person) menjadi salah satu per timbangan para ulama yang mengadiri Seminar Zakat Internasional ke-I di Kuwait tahun 1404 H/ 1984 yang mengeluarkan rekomendasi bahwa wajibnya zakat kekayaan dan aset perusahaan yang dibebankan atas perusahaan penanaman modal karena merupakan badan hukum abstrak.

Sejak beberapa tahun lalu, Fatwa Komite Fikih Islam yang berada di bawah naungan Organisasi Konperensi Islam (OKI) di Jeddah telah memfatwakan:

Pertama, saham perusahaan wajib dizakati oleh pemilik saham. Perusahaan dapat bertindak sebagai wakil pemilik saham untuk menyalurkan zakatnya atas nama mereka.

Kedua, manajemen perusahaan dapat menyalurkan zakat saham perusahaan bagaikan subjek hukum konkrit membayar zakatnya, dalam arti semua saham pada perusahaan tertentu dianggap bagaikan sebuah harta milik seorang.

Ketiga, apabila perusahaan tidak membayar zakat sahamnya, maka para pemegang saham wajib membayar zakat sahamnya masing-masing. Bila pemilik saham mendepositkan modalnya dengan maksud dagang, maka ia wajib membayar zakatnya atas dasar modal perdagangan, ia wajib membayar sebesar 2,5 % dari modal dan keuntungan setelah cukup haul yang nilainya dihitung atas dasar harga pasaran sedang berjalan atau penentuan seorang ahli.

Keempat, bila seorang pemilik saham menjual sahamnya di tengah-tengah haul, dia diharuskan menggabungkan harga saham tersebut dengan harta kekayaannya yang lain, seterusnya membayar zakatnya sekalian, bila haulnya sempurna. Pembeli diharuskan membayar zakat saham yang baru di beli tersebut sesuai ketentuan di atas.

Adapun pola perhitungan zakat perusahaan sama dengan zakat perdagangan. Hal ini merujuk pendapat Abu Ubaid dalam kitab Al Amwaal. Dalam praktiknya cara perhitungan tersebut didasarkan pada laporan keuangan (neraca) dengan mengurangkan kewajiban atas aktiva lancar. Yaitu seluruh harta (di luar sarana dan prasarana) ditambah keuntungan, dikurangi pembayaran utang dan kewajiban lainnya. Dari situlah dikeluarkan 2,5 % sebagai zakat perusahaan. Sementara ada juga pendapat lain menyatakan bahwa yang wajib dikeluarkan zakatnya itu hanyalah keuntungannya saja.

Sementara itu Yusuf al-Qaradhawi mengemukakan dua pendapat berkaitan dengan kewajiban zakat pada saham dalam perusahan yang menarik untuk dicermati. Pertama, jika perusahaan itu merupakan perusahaan industri murni, artinya tidak melakukan kegiatan perdagangan, maka sahamnya tidaklah wajib dizakati. Contohnya perusahaan hotel, biro perjalanan, dan angkutan (darat, laut, udara). Alasannya adalah saham-saham itu terletak pada alat-alat, perlengkapan, gedung-gedung, sarana dan prasarana lainnya. Akan tetapi keuntungan yang ada dimasukkan ke dalam harta para pemilik saham tersebut, lalu zakatnya dikeluarkan bersama harta lainnya. Pendapat ini dikemukakan pula oleh Syaikh Abdul Rahman Isa.

Kedua, jika perusahaan tersebut merupakan perusahaan dagang murni yang membeli dan menjual barang-barang, tanpa melakukan kegiatan pengolahan, seperti perusahaan yang menjual hasil-hasil industri, perusahaan dagang internasional, perusahaan ekspor-impor, maka saham-saham atas perusahaan itu wajib dikeluarkan zakatnya. Hal yang sama berlaku pada perusahaan industri dan dagang, seperti perusahaan yang mengimpor bahan-bahan mentah, kemudian mengolah dan menjualnya, contohnya perusahaan minyak, perusahaan pemintalan kapas dan sutera, perusahaan besi dan baja, dan perusahaan kimia.

Perusahaan yang berzakat tidak akan merugi dan bahkan sebaliknya akan tumbuh dan berkembang karena keberkahan yang diberikan Allah. Juga karena doa tulus para mustahik yang merasakan manfaat zakat yang mereka terima dan disalurkan oleh amil zakat sesuai ketentuan agama dan negara.


Wallahu a’lam bisshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post