![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwm1h39atiiZW1k8EHa89DmkSV6f2F7QpDG0pKUE5iBobcyHoI0ujnzEWAAbNOAsmdeUFO4kyt9kTO6p_bN_K-NqB_JqcWoxuI70TONh5dvRVxq-osQfdmLu-MA94d4I9sK4bucxEHYa_2m7-vtZHGLIzQ_FCQGQwug4J5qfy6d9jf9VPJb4t7DlMv9Ek/s320/lt6278ed13dfbf7.jpg)
Formulir Bukti Setor Zakat
dari BAZNAS yang dapat dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan
sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak.
Setiap muzaki yang melakukan
pembayaran zakat melalui Badan Amil Zakat (menurut nomenklatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 berubah menjadi BAZNAS, BAZNAS Provinsi dan
BAZNAS Kabupaten/Kota) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang teregistrasi mendapat
insentif dalam kaitan dengan pembayaran pajak penghasilan, yaitu bukti
pembayaran zakat atau disebut Bukti Setoran Zakat diperhitungkan sebagai
komponen biaya yang menjadi pengurang penghasilan kena pajak atau disebut
“pengurang penghasilan bruto”.
Pembayaran zakat atas gaji
karyawan melalui Unit Pengumpul Zakat (UPZ) Kementerian/Lembaga dan BUMN baik
dilakukan secara tunai maupun payroll system juga diakomodasi sebagai pengurang
penghasilan kena pajak, dengan syarat UPZ tersebut menyetorkan dana zakat yang
terkumpul kepada BAZNAS dan atas dasar itu BAZNAS menerbitkan kwitansi bukti
setoran zakat.
Terkait dengan itu, dalam
Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat (UU No 23 Tahun 2011) bahwa BAZ atau LAZ wajib memberikan bukti setoran
zakat kepada setiap muzaki. Bukti setoran zakat tersebut digunakan sebagai
pengurang penghasilan bruto dalam pengisian SPT tahunan.
Pembayaran zakat sebagai
pengurang penghasilan kena pajak (penghasilan bruto) telah berlaku sejak 2001.
Namun sampai saat ini masih banyak Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama
Islam atau pembayar zakat (muzaki) yang belum memanfaatkan pengurangan
penghasilan bruto atas Pajak Penghasilan (PPh) tersebut. Untuk itu amil zakat
dan pegawai pajak di semua kantor pelayanan diharapkan dapat memberi informasi
dan penjelasan kepada para muzaki dan Wajib Pajak yang dilayaninya.
Penting diketahui bahwa
pengurang penghasilan bruto sebetulnya tidak hanya zakat atas penghasilan yang
dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam, tetapi juga
berlaku untuk zakat penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak badan dalam
negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan atau lembaga zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
Dalam ketentuan perpajakan
yang berlaku di negara kita, khususnya yang terkait dengan PPh adalah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 bahwa zakat
atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib dikurangkan dari penghasilan
bruto. Kebijakan Ditjen Pajak juga menetapkan bahwa terhadap Wajib Pajak orang
pribadi yang ketika penyampaian SPT Tahunan PPh yang menyatakan kelebihan bayar
(termasuk lebih bayar karena pemotongan zakat), niscaya akan dilakukan
pengembalian kelebihan pembayaran pajaknya tanpa melalui pemeriksaan, tetapi
cukup dengan penelitian oleh pegawai pajak.
Upaya mensosialisasikan
zakat sebagai pengurang penghasilan bruto, tidak cukup hanya dilakukan oleh
BAZNAS dan Kementerian Agama saja. Tetapi membutuhkan koordinasi, kerjasama dan
sinergi dengan instansi terkait, terutama jajaran Direktorat Jenderal Pajak. Koordinasi, kerjasama dan sinergi itulah yang
ke depan perlu dibangun di tingkat institusi, karena bagi umat Islam zakat dan
pajak adalah dua kewajiban yang seiring dan paralel.
Satu hal yang perlu
diperhatikan adalah bahwa zakat dan pajak
harus dikelola secara amanah dan transparan. Kejujuran tidak hanya dituntut dari para muzaki dan
Wajib Pajak ketika menghitung sendiri kewajiban zakat dan pajak penghasilannya,
tetapi juga para petugas pengumpul zakat dan pemungut pajak.
Ketidakjujuran/ketidak-amanahan akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat dan melemahkan
kesadaran untuk berzakat melalui lembaga dan kesadaran membayar pajak secara
jujur dan benar.
Tidak dapat dipungkiri bahwa
zakat yang hanya diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto, memang
belum memenuhi harapan maksimal para muzaki dan lembaga zakat di tanah air.
Akan tetapi, menurut kaidah fiqih, “Apa yang tidak didapat seluruhnya, jangan
ditinggalkan seluruhnya.” Jika kita belum berhasil memperjuangkan zakat sebagai
pengurang pajak, maka zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak jangan
disia-siakan.
Wallahu a’lam bisshawab.
Sumber:
Ditulis Oleh: Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin,
M.Sc (Ketua Umum BAZNAS)
إرسال تعليق