Keluarnya amar putusan MK merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang harus dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menjalankan UU No.
23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Semua pihak harus merasa tidak ada yang dirugikan baik Pemerintah sebagai regulator maupun BAZNAS dan LAZ sebagai operator zakat, karena peraturan perundang-undangan zakat tersebut mengatur pengelolaan zakat sudah sesuai dengan syariat Islam, seperti akuntabel, profesional, amanah dan jujur yang diawali sejak perencanaan, pelaksanaan, pendistribusian, dan pertanggungjawabanyang harus dilaksanakan oleh para pengelola zakat.
Berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pertimbangan BAZNAS No.
001/DP-BAZNAS/XII/2010 tentang Pedoman Pengumpulan dan Pentasarufan Zakat,
Infaq, dan Shadaqah pada Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
Nomor 4, bahwa “sesuai dengan keputusan Dewan Zakat Dunia
bahwa dana zakat hanya untuk SDM, sebagaimana tercantum
dalam QS. At Taubah (9): 60. Sedangkan pembangunan fisik seperti rumah
sakit, sekolah dan pembangunan sarana sosial lainnya untuk kepentingan
fakir miskin boleh dari dana infak/shadaqah”.
Dengan lahirnya UU No. 23 tahun 2011 yang memuat sebelas
bab, empat puluh tujuh pasal, dan enam puluh dua ayat diharapkan dapat mencegah
penyimpangan penggunaan dan pendistrubian dana zakat oleh para pengelola zakat
dan amil zakat seperti dalam contoh kasus tersebut di atas.
Pacsa amar putusan MK, Pemerintah dalam hal ini Kementerian
Agama, sebagai regulator, harus menindaklanjutinya dengan mereview program dan
kegiatan terkait tersebut, diantaranya:
Sosialisasi amar putusan MK kepada masyarakat, terutama
masalah BAZNAS dan LAZ.
Membuat payung hukum/regulasi yang berkaitan dengan sistem
pelaporan pengelolaan zakat yang dilakukan oleh pengelola zakat diluar BAZNAS
dan LAZ.
Membuat regulasi tentang pembinaan terhadap amil-amil
di luar amil BAZNAS dan LAZ.
Membuat regulasi tentang pengawasan syariat
Merekruit SDM pengawas atau auditor syariat.
Segera membentuk dan mengangkat anggota BAZNAS sesuai
dengan UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, karena pengurus yang ada
sekarang sudah habis masa jabatannnya.
Berkenaan dengan Pasal 18 ayat (2) tentang persyaratan
pendirian LAZ, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang RI
nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakat; bahwa Ormas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dapat berbentuk: a. badan hukum; atau b.
tidak berbadan hukum. Kemudian dijelaskan Pasal 11 Ormas berbadan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a dapat berbentuk: a.
perkumpulan; atau b. yayasan.
Pertanyaannya adalah, sudah siapkah Pemerintah memfasilitasi
keinginan masyarakat mendirikan LAZ melalui yayasan yang jumlahnya ribuan?
Kementerian Agama melalui Direktorat Pemberdayaan Zakat sampai saat ini belum
mampu membina LAZ tingkat pusat yang jumlah hanya 18 lembaga, apalagi nanti
ketika yayasan-yayasan pendidikan yang jumlahnya ribuan itu mengajukan
pendirian LAZ dan dikabulkan oleh Pemerintah.
Selain itu, tidak menutup kemungkinan akan bermunculan
yayasan-yayasan baru yang selanjutnya berkeinginan mengelola zakat, karena
syarat mendirikan yayasan sangat longgar sekali, cukup didirikan oleh satu
orang atau lebih sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun
2001 tentang Yayasan Pasal 9 ayat (1) Yayasan didirikan oleh satu
orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya, sebagai
kekayaan awal.
Untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan tersebut, Pemerintah
dan BAZNAS harus segera mengeluarkan regulasi-regulasi yang berhubungan dengan
persyaratan operasional pengumpulan dan kedudukan LAZ agar tidak timbul
permasalahan baru sesama pengelolaan zakat seperti di satu tempat
beroperasi beberapa pengelola zakat (BAZNAS, dan LAZ Ormas serta LAZ
berbadan hukum).
Dengan dikabulkannya persyaratan pendirian LAZ pada Pasal 18
ayat (2) huruf a. dan huruf b. yang menjadi persayaratan pilihan (alternatif)
akan memudahkan masyarakat mendirikan LAZ untuk membantu BAZNAS melaksanakan
pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat. Adanya penafsiran oleh MK
pada Pasal 18 ayat (2) huruf a dan huruf b sebagai persyaratan alternatif akan
menimbulkan dua pemahaman bahwa pendirian LAZ ada dua versi. Pertama versi Ormas
Islam berbasis anggota dan kedua versi berbadan hukum yaitu yayasan tidak
berbasis anggota.
BAZNAS sebagai mandatori pengelolaan zakat secara nasional,
sebagaimana Pasal 6 UUPZ bahwa: “BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang
melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.” Disamping
bertugas mengelola zakat juga sebagai badan yang menerbitkan rekomendasi
izin pendirian LAZ yang diusulkan oleh Ormas atau badan yang berbadan hukum.
UU zakat yang baru juga menugaskan BAZNAS sebagai
koordinator pengelola zakat secara nasional melakukan:
Perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan
zakat.
Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan
zakat.
Pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan
zakat., dan
Pelaporan dan pertanggujawaban pelaksanaan pengelolaan
zakat.
Sebagai gambaran hasil penghimpunan zakat oleh seluruh
Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) di Indonesia pada tahun 2012
(versi UU No. 38/1999) yang disampaikan oleh BAZNAS baru mencapai angka
2,3 triliun. Sedangkan potensinya adalah 217 triliun. Ini artinya kemampuan
penghimpunan zakat baru mencapai kurang lebih angka 1,1% dari total potensi
yang ada. Potensi tersebut dimungkinkan akan bertambah setiap tahunnya seiring
dengan peningkatan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya upaya
pendongkrakan penghimpunan zakat sehingga dibutuhkan power yang mampu
melakukan intervensi dalam pengelolaan perzakatan yang dilakukan oleh
Pemerintah.
Dalam perspektif kebijakan Pemerintah, instrumen zakat
belum menjadi instrumen utama dan belum menjadi bagian integral dari kebijakan
nasional ekonomi negara karena dari segi perspektif kebijakan publik posisi
zakat belum kuat. Kehadiran UU Nomor 23 Tahun 2011 hasil uji material
MK akan semakin memperkuat peran Pemerintah dalam meningkatkan
pengelolaan zakat. Pemerintah mendapat “mandat” untuk turut membangun
perzakatan secara nasional melalui upaya-upaya fasilitasi, edukasi
dan penguatan infrastruktur kelembagaan dan anggaran bagi pembangunan
zakat nasional. Hal ini tentunya harus dijabarkan oleh turunan aturannya
liannya, seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden
(Perpres), Intruksi Presiden (Inpres), Peraturan Menteri Agama (PMA), dan
lain-lain.
Kaitannya dengan pengelolaan zakat yang terintegrasi seperti
yang dijelaskan Abu Ubaid dalam kitab “Al Amwal” bahwa zakat memiliki dua
karakter: pertama, zakat adalah sebagai ibadah mahdhah yang berlaku final dan
tidak dapat diganggu gugat, dan kedua, adalah karakter politik zakat. Oleh
sebab itu, menurut Abu Ubaid bahwa karakter politik zakat adalah
merupakan institusi keuangan publik yang peranannya sangat
tergantung pada kondisi negara dan masyarakat.
Dalam konteks ini, integrasi pengelolaan zakat dalam
kebijakan Pemerintah dalam satu kesatuan sistem (unified system) pengelolaan
zakat nasional menjadi penting. Hal ini dilakukan karena sifat zakat terkait
dengan orang banyak, sehingga diperlukan pengaturan secara menyeluruh.
Keterlibatan Pemerintah secara langsung dalam pengelolaan zakat dalam
rangka agar hak-hak masyarakat baik muzaki maupun mustahiq bisa tetap
terlindungi, apalagi dalam konteks kekinian, perlindungan itu sangat dibutuhkan
agar kasus-kasus pembagian zakat tidak mengalami kekacauan.
- See more at:
http://bimasislam.kemenag.go.id/preview/uu-zakat-pasca-putusan-mahkamah-konstitusi---bagian-kedua-habis#sthash.S5xH91uN.dpuf
إرسال تعليق