Menjelang hari terakhir puasa Ramadhan, muslim Indonesia makin menjadi-jadi ibadahnya. Kali ini ibadah mereka terbungkus dalam tradisi ‘kupatan’. Tradisi ini berwujud menu masakan yang komposisinya ketupat, lontong, opor ayam, sayur tahu-tempe, petis, dan bubuk kelapa. Menu tersebut dikemas rapi dan dibagi-bagi ke para tetangga, terutama para fakir miskin. Tetanggaku kanan kiri silih berganti mengirimi keluargaku kemasan ketupat lengkap dengan sayur mayurnya. Saling berikirim makanan makin menambah semarak ibadah di bulan Ramadhan.
Mengapa sedekahnya berbentuk makanan siap saji seperti ketupat? Syaikh Usman bin Hasan dalam kitab “Durratun Nasihin” mencatat bahwa Rasulullah pernah menegaskan bahwa seorang muslim yang memberi makanan muslim lainnya akan dijauhkan dari api neraka. Tidak hanya itu, api neraka pun sujud syukur kepada Allah Swt dan minta ijin untuk membebaskan umat Muhammad saw tersebut dari jeratannya. Lalu Allah Swt pun memasukkan orang-orang yang sedekah tersebut ke dalam surga.
Imam
Nawawi Banten dalam kitabnya, “Nihayatuz Zain” mengatakan bahwa setiap
muslim disunnahkan untuk memperbanyak sedekah di bulan Ramadhan. Di
samping itu Imam Nawawi tidak memberi standar kepantasan bersedekah.
Jika tidak mampu memperbanyak sedekah, menurut Imam Nawawi, sedekahlah
semampunya. Hingga andai seorang muslim yang sedang puasa hanya mampu
bersedekah dengan memberi seteguk air untuk berbuka puasa orang lain
maka itu pun sudah menjadi kesunnahan di bulan Ramadhan. Beruntunglah
muslim Indonesia yang mempunyai tradisi ‘kupatan’, yaitu sedekah makanan
di bulan Ramadhan. Sedekah saja sudah dijanjikan balasan 10 kali lipat,
apalagi dilakukan di bulan Ramadhan.
Nyatalah kesunnahan memperbanyak sedekah di bulan Ramadhan. Di sisi lain tentunya setiap orang yang bersedekah harus tetap mengikuti etika bersedekah. Pada prinsipnya etika bersedekah adalah turunan dari keikhlasan dan niatan karena Allah Swt (biniyyatil mutashaddiq wa ikhlashihi). Maka berhati-hatilah dalam bersedekah agar tetap dalam bingkai keikhlasan dan semata-mata karena Allah Swt. Di samping itu misi sedekah adalah membantu, meringankan, dan memberi kegembiraan kepada orang yang membutuhkan. Bukanlah sedekah namanya jika ternyata justru mempersulit orang yang diberi sedekah.
Dalam konteks etika sedekah di atas maka setiap ulama mempunyai tips dalam implementasinya. Ada ulama yang setiap sedekah selalu memberikan yang terbaik dari sesuatu yang ia miliki. Ada lagi ulama yang setiap sedekah selalu menyembunyikan identitasnya. Sementara ada ulama lainnya yang setiap sedekah selalu mencari fakir miskin yang buta agar dirinya tak diketahui (faqiran a’ma li’alla ya’lama minal mutashaddiq). Ada juga ulama yang setiap menyerahkan sedekahnya menunggu momentum orang yang akan disedekahi sedang tidur.
Etika sedekah yang tidak kalah pentingnya adalah memastikan bahwa barang yang akan disedekahkan itu statusnya halal. Sufi besar Sufyan as-Tsauri mengatakan, “orang yang menggunakan harta haramnya di jalan Allah Swt itu bagai mensucikan pakaian menggunakan kotoran, padahal pakaian bisa suci dengan air yang suci, dan dosa tidak bisa terbersihkan kecuali dengan sesuatu yang halal (wadz-dzanbuh la yuthahharu illa bil halal).
Penulis : Sulthon fatoni
http://bazjatim.org
Nyatalah kesunnahan memperbanyak sedekah di bulan Ramadhan. Di sisi lain tentunya setiap orang yang bersedekah harus tetap mengikuti etika bersedekah. Pada prinsipnya etika bersedekah adalah turunan dari keikhlasan dan niatan karena Allah Swt (biniyyatil mutashaddiq wa ikhlashihi). Maka berhati-hatilah dalam bersedekah agar tetap dalam bingkai keikhlasan dan semata-mata karena Allah Swt. Di samping itu misi sedekah adalah membantu, meringankan, dan memberi kegembiraan kepada orang yang membutuhkan. Bukanlah sedekah namanya jika ternyata justru mempersulit orang yang diberi sedekah.
Dalam konteks etika sedekah di atas maka setiap ulama mempunyai tips dalam implementasinya. Ada ulama yang setiap sedekah selalu memberikan yang terbaik dari sesuatu yang ia miliki. Ada lagi ulama yang setiap sedekah selalu menyembunyikan identitasnya. Sementara ada ulama lainnya yang setiap sedekah selalu mencari fakir miskin yang buta agar dirinya tak diketahui (faqiran a’ma li’alla ya’lama minal mutashaddiq). Ada juga ulama yang setiap menyerahkan sedekahnya menunggu momentum orang yang akan disedekahi sedang tidur.
Etika sedekah yang tidak kalah pentingnya adalah memastikan bahwa barang yang akan disedekahkan itu statusnya halal. Sufi besar Sufyan as-Tsauri mengatakan, “orang yang menggunakan harta haramnya di jalan Allah Swt itu bagai mensucikan pakaian menggunakan kotoran, padahal pakaian bisa suci dengan air yang suci, dan dosa tidak bisa terbersihkan kecuali dengan sesuatu yang halal (wadz-dzanbuh la yuthahharu illa bil halal).
Penulis : Sulthon fatoni
http://bazjatim.org
إرسال تعليق