Pengaruh Zakat terhadap Indeks Pembangunan Manusia

Pembangunan manusia merupakan salah satu isu strategis dalam pembangunan nasional. Hal ini dikarenakan oleh peran strategis sumberdaya manusia sebagai pilar utama kemajuan suatu bangsa. Untuk itu, diantara tujuan utama pengelolaan zakat menurut UU No 23/2011 adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menanggulangi kemiskinan mustahik. Dalam konteks ini, indikator meningkat tidaknya kesejahteraan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari kualitas SDM yang ada. Untuk mengukur kualitas SDM ini, maka instrumen yang biasa digunakan secara global adalah IPM atau Indeks Pembangunan Manusia, yang pertama kali diperkenalkan oleh UNDP dua dekade lalu.

Dengan prinsip bahwa zakat harus disalurkan kepada mustahik, dan mustahik itu sendiri didefinisikan sebagai orang yang berhak menerima zakat (Pasal 1 poin 6 UU No 23/2011), maka instrumen zakat pada dasarnya memiliki keterkaitan erat dengan kualitas SDM dhuafa negeri ini. Untuk itu, kita perlu menelaah sejauh mana pengaruh program zakat yang ada selama ini terhadap nilai IPM para mustahik.

Namun demikian, studi terkait dengan hal tersebut masih belum banyak dilakukan. Ini tentu memberikan peluang kepada para peneliti dan perguruan tinggi untuk menggali lebih dalam kaitan antara program penyaluran zakat dengan nilai IPM. Adapun nilai IPM sendiri diperoleh dengan menggabungkan tiga nilai indeks yang terdiri dari indeks harapan hidup, indeks pendidikan, dan indeks daya beli. Indeks harapan hidup diperoleh dengan membagi nilai selisih indeks harapan hidup saat individu lahir dan harapan hidup minimum yang terdapat di UNDP, serta selisih harapan hidup minimum dan maksimum yang terdapat pada UNDP. Indeks pendidikan diperoleh dengan menghitung angka rata-rata lama sekolah dan tingkat melek huruf mustahik. Indeks daya beli diperoleh dengan menghitung nilai purchasing power parity (PPP) yang disesuaikan terlebih dahulu, selan jutnya nilai PPP ini di masukkan ke dalam perhitungan indeks daya beli. Setelah diperoleh tiga nilai komponen tersebut,


maka langkah akhir adalah menghitung nilai IPM, dimana nilai IPM merupakan agregasi dari ketiga indeks yang telah dihitung, dengan bobot masing-masing yang sama, yaitu sepertiga (Murniati, 2013).


Dalam studi yang dilakukan oleh alumnus Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB, Rina Murniati bersama penulis, dengan mengambil studi kasus BAZNAS Kota Bogor, diperoleh bukti empiris bahwa keberadaan program penyaluran zakat mampu menaikkan IPM mustahik sebesar 4,1 persen. Zakat juga terbukti mampu menaikkan daya beli mustahik sebesar 10,2 persen. Ini menunjukkan pengaruh positif zakat yang dikelola BAZNAS Kota Bogor terhadap IPM.


Namun demikian, untuk indeks harapan hidup dan indeks pendidikan, fakta menunjukkan bahwa nilainya relatif masih sangat rendah. Sebagai contoh, rata-rata lama sekolah para mustahik adalah 4,2 tahun dan terdapat 27 persen mustahik berusia 15 tahun ke atas yang masih tidak bisa membaca dan menulis. Akibatnya, meski telah mendapat manfaat zakat, nilai keseluruhan IPM mustahik ini masih berada pada kategori rendah, dimana nilai rata-ratanya mencapai angka 49.


Langkah Penguatan


Dari hasil studi di atas, paling tidak, ada dua hal yang perlu mendapat perhatian para pengelola zakat. Pertama, mustahik sebagai obyek dan subyek pengelolaan zakat, harus dilihat secara utuh dan komprehensif. Yaitu, pemberdayaan terhadap mereka bukan hanya dikaitkan dengan sisi ekonominya semata, namun juga aspek pendidikan, kesehatan dan agama.


Karena itu, ‘caturdaya’ program Zakat Community Development harus betul-betul dapat direalisasikan dengan baik, terutama oleh BAZNAS kabupaten/kota yang menjadi ujung tombak penyaluran zakat. Caturdaya merupakan empat pilar pemberdayaan masyarakat berbasis zakat, yaitu pilar agama, ekonomi, pendidikan dan kesehatan.


Kedua, perlunya peningkatan kapasitas penyaluran zakat dari lembaga zakat formal yang ada. Agar kapasitas ini mengalami peningkatan signifikan dari waktu ke waktu, maka upaya untuk meningkatkan kualitas SDM amil yang ada, harus terus menerus dilakukan. Dibutuhkan adanya“grand design” pengembangan amil yang komprehensif dan terencana dengan baik.


Wallahu a’lam.


Oleh


Irfan Syauqi Beik


Staf Ahli BAZNAS
 http://pusat.baznas.go.id/

Post a Comment

أحدث أقدم